Sejarah Desa
Pada jaman Pemerintahan Dinasti Warmadewa di Bali, Desa Batuan dengan sebutan Desa Batuaran, memang sudah terdapat ada Nama Baturan akhirnya kemudian di sebut Batuan, yang berasal dari Kata Batu, oleh karena di Daerah ini adalah Daerah yang berbatu – batu selanjutnya perubahan pengucapan sehari – hari maka lebih populer dengan sebutan Desa Batuan.
Hal ini dapat kita jumpai dari peninggalan Prestasi yang terdapat di “Pura Hyang Tibha“ yang di bangun menurut Canderasengkala “ Lawang Apit Gajah “ yang berarti Isaka : 829 = Tahun : 907 M oleh Srie Aji Darmapangkaja Wira Dale Kesari Warmadewa yang bertahta di Bali bersinggasana di Singhadwala. Adapun letaknya Pura Hyang Tibha itu adalah di Dusun Blahtanah termasuk wilayah Batuan Kaler.
Kemudian pada waktu pemadegan Dinasti Warmadewa yang ke IV adalah Srie Aji Darma Udayana Warmadewa dengan di dampingi oleh Permisuri Sri baginda bernama Gunapria Darmapatni yang berasal dari Jawa Timur yaitu Putri Mahendra Data, Srie Aji Darma Udayana Warmadewa bertahta sebagai Raja di Bali pada Icaka 989 = Tahun 1001 Masehi. Dan di dalam perkawinan Srie Aji Darma Udayana Warmadewa dengan Guna Darma Patni telah melahirkan 3 (tiga) orang Putra Mahkota a.n:
- Srie Aji Air Langga di Bali pda tahun 1000 Masehi kemudian beliu mengalih ke Jawa menikiah dengan Putri Darma Wangsa.
- Srie Aji Mara Kata bertahta di Bali yang membuat Prasasti yang kini tersimpan di Desa Batuan ber icaka: 944 = tahun 1022 Masehi akan tetapi semasih usia muda beliau telah wafat.
- Srie Aji Anak Wungsu yang menggantikan kedudukan Rakanda Srie Aji Mara Kata bertahta menjadi Raja di Bali dari tahun 1049 sampai dengan 1077 Masehi.
Pada masa pemerintahan Srie Aji Darma Udayana Warmadewa dengan didampingi oleh Permaisuri Srie Baginda Guna Kria Darmapatni, terdapat para anggota staf kerajaan yang terkenal pada waktu itu adalah Seno pati Kuturan .Srie Baginda suami istri sengaja mengundang Sira Sena Pati Kuturan guna diberi pengarahan agar berusaha menertibkan tata kemasyarakat penduduk di Bali, kebetulan pada waktu itu sudah tiba saatnya bagi Sena Pati Kuturan yang menempuh jalan Biksuka atau sandiyasa,melaksanakan hidup mengembara sebagai empu guna megamalkan Darmanya selaku guru agama dan budaya.
Untuk menciptakan ketertiban serta menegakan kembali sendi – sendi Agama serta budaya masyarakat di Bali.maka empu Kuturan segera mengadakan musyawarah besar( maha saba ) yang dihadiri oleh para pemuka masyarakat serta para pandita Siwa- Buda bertempat kira- kira disamuan tiga.Didalam musyawaran besar itu telah di ambil keputusan dan menetapkan bahwa makna paham/ pengertian Tri sakti atau Tri Purusa harus di pulihkan kembali. Akhirnya sejak itu terlaksanalah pengertian Tri Purusa landasan dari dibangunnya para khayangan tiga yang melambangkan Upeti setiti Prelina.
Berhubung pada waktu itu diwilayah Desa Batuan baru terdapat hanya sebuah pura terletak di Dusun Blahtanah yang disebut Pura Hiyang Tibha tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Siwa, sebagai lambing maha Pralina, lalu di bangun lagi terletak di Dusun Cangi tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Wisnu yangmelambangkan Setiti.
Selanjutnya Pura Kahiyangan Tiga yang berada yang diwilayah Desa Batuan langsung di bawah kerajaan Sri Aji Udayana Darma Warmadewa bersama Permasuri Sri Baginda. Kemudian setelah srie Baginda suami istri mangkat, pemeliharaan Pura Kahiyangan Tiga itu dilanjutkan oleh Putranya yang menggantikan kedudukan Baginda sebagai Raja di Bali yang bergelar “Srie Darma Wangsa Wardana Marakata Pangkajastana Tanggadewa, sebagai Raja yang ke : V bertahta di Bali.
Sesuai dengan makna Prasasti yang kini tersimpan di pura puseh Batuan ber Icaka : 944 = Tahun : 1022 M. tepatnya pada tanggal 26 Desember 1022 maka pada waktu itu Para Krama Desa Batuan sepasuktani , di bawah pimpinan :
- Seorang Pertapa bernama: Bhiksu Widiya.
- Kepala Desa Bernama: Bhiksu Sukaji.
- Juru tulis Desa bernama: Mamudri Gawan.
Beserta para perangkat Desa lainnya, hendak menghadap kehadapan Srie Aji Darmawangsa Wardana Mara kata Pangkaja Stanotunggadewa, dengan diantar oleh Pandita Ciwa bernama Empu Gupit dari nguda laya, dengan maksud mengajukan permohonan agar Srie Baginda Raja berkenan memberikan keringan kepada para Krama Desa Baturan/Batuan sewilayahnya mengenai Ayah – ayahan anatara lain :
- Membebaskan dari kewajiban ngayah Rodi.
- Menghapuskan pengenaan tanggung jawab dari segala pajak – pajak.
- Menghentikan menyuguhkan, (penangu) kepada para petugaskerajaan, hanya masih tetap menjadi beban selanjutnya penyungsung serta mengaturkan aci – aci terhadap para kahyangan tiga tersebut.
Srei Aji Darmawangsa Wardana Marakata sangat prihatin terhadap pemohon para Kerama Desa Batuan sewilayahnya, maka atas kebijaksanaan Srei Baginda yang selalu ingat akan anugrah Ramanda Almarhum yang dimakamkan di makamkan dineraka hal mana Srei Baginda berkenan untuk mengabulkan permohonan dari para Kerama Desa Batuansewilayahnya dengan dengan surat keputusan sebagai yang termaktub didalam Prasasti yang berisaka : 944 = tahun : 1022 M. Adapun Prasasti yang tersebut sampai kini tetap menjadi Penyusungan Desa Batuanyang di sebut “Ida Sanghyang Aji Saraswati“yang secara pisologi merupakan pelindung dari para karma Desa Batuan sewilayahnya dan Piodalannya jatuh pada hari Sabtu, Umanis Watugunung.
Adapun pura – pura tersebut adalah peninggalan dari Dinasti Warmadewa raja Bali yang ke: IV, yaitu Srei Aji Darma Udayana Warmadewa serta selanjutnya tetap menjadi pengawasan para Raja - raja di Bali.
Pada waktu bertahtanya Srei Aji Antasura Ratna Bumi Banten yang dinobatkan pada tahun1337 yang bergelar Srei Aji Gajah Waktra atau Srei Tapelung beristana di Bedahulu dengan lebih dikenal sebutan Dalem Bedaulu. Dalam Pemerintahan Srei Aji Dalem Bedaulu, beliau , mempunyai 2 ( dua ) orang pembantu masing – masing bernama Ki Patih Pasung Garigis tinggal di Tengkulak, dan Ki Patih Kiyai Patih Kebo Iwa tinggal di Blahbatuh, maka atas ketekunan beliau selama hidupnya tetap membujang lalu beliau disebut Ki Kebo teruna. Didalam Pemerintahannya Srei Aji Asta Sura Ratna Bumi Banten/ Dalem Bedaulu beliau menitahkan Ki Patih kebotaruna untuk melakukan pemugaran pura , Kori/Candi Agung ke tiga pura – pura tersebut yang masih ada sampai sekarang akan tetapi keadaannya sudah sangat menyedihkan.
Setelah hapusnya Dinasti Warmadewa di Bali atau disebut Raja Bali Age, akhirnyapada tahun: 1343 Bali jatuh ketangan Kipatih Gajah Mada dan kemudian dinobatkan pada tahun: 1350 s/d tahun 1380 Dalem Ketut Cri Kresna Kepakisan menjadi sesuhunan Bali beristana di samprangan.
Jaman samprangan berakhir, Kota kerajaan Bali dipindahkan ke Gelgel dan dinobatkan menjadi sesuhunan Bali Srei Dalem Ketut Ngulesir bertahta dari tahun 1380 s/d tahun 1460. Kemudian jaman Gelgel berakhir juga Ibu Kota Kerajaan di Bali dipindahkan ke Klungkung di bawah pemerintahan Ida Dewa Agung Jambe yang bertahta sejak tahun 1700 s/d 1735 dengan menurunkan 4 ( empat ) raja Putra a.n:
- Ide Dewa Agung Gede tetap bertahta di Puri Klungkung, sebagai sesuhuna Bali.
- Ide Srei Aji Maha Sirikan dengan Gelar Ida Dewa Agung Anom, dengan Istana bernama Sukeluwih di Gerogak Sukawati.
- Ide Dewa Ketut Agung kembali beristana di puri Gelgel.
- Ida Dewa Agung Ayu Kaleran.
Setelah Ida Srei Aji Maha Sirikan berasil membantu I Gusti Agung Anglurah Mengwi mengalahkan Ki Balian Batur dari Desa Kedangkan kini disebut Desa Rangkan Ketewel, sebagai imbalan Jasa Beliau lalu Igusti Agung Anglurah Mengwi mempersembahkan kehadapan Srei Aji berupa Wilayah Mengwi dari batas sebelah Barat Sungai Pakerisan sampai Batas sebelah Timur Sunagai Ayung, dan dan dari tepipantai sampai dengan Daerah Pegunungan Batur.
Berhubung dengan Hal itu, maka sesuai dengan warsaning Candra Sengkala: Naga Anaut ganewani yang berate Isaka: 1628 = Tahun: 1706 M. lalu Srei Aji Maha Sirikan pindah dari Puri Klungkung mengalih tempat di Desa Batuan dengan disertai oleh para Pengiring anatara lain;
- I Dewa Babi.
- Kiayi Pekandelan Anglurah Batulepang.
- Ki Kabetan.
- Ki Bendesa Mas.
- Pula Sari, dll nya.
Sesudah Srei Baginda 4 (empat) tahun lamanya ber asrama di Desa Batuan, maka atas pesaran serta Nasehat dari Ida Pedanda Sakti Teges yang ber asrama di Dajantiyis, bagi Baginda disarankan supaya membangun Kedatuan agak kearah selatan dari Desa Batuan yang tepatnya di Desa timbul /kini di sebut Sukawati.
Menurut Cendrasengkala tersebut : Babadnia pare Megunerase tunggal, yang berarti icaka : 1632 = tahun 1710 M pada hari Senin Paing, kalau Sasih ketiga beliau pindah dari Desa Batuan menuju tempat timbul, sedangkan para pengikut beliau dititipkan tetap tinggal di Desa Batuan.
Sebelum Srei Baginda membentuk Kedatuan serta membangun Puri dan Pura Penataran, Beliau terlebih dahulu mendatangkan 200 ( dua ratus ) orang pilihan dari Klungkung, yang betul – betul mempunyai keahlian didalam bidang Kesenian dan Kebudayaan, akhirnya sesuai dengan Candresengkala : Jate maguno rase tunggal, yang berarti isaka : 1639 = tahun 1717 M berubah selesai di bangun Puri Gerogak yang diberi nama Puri Sukaluwih, sejak masa itulah berkembangnya Kesenian dan Kebudayaan di Desa Batuan yang amat tersohor sehingga kemudian sampai merubah sebutan Desa Timbul menjadi Sukawati.
Selanjutnya Kesenian serta Kebudayaan di Desa Batuan selalu dapat berkembang dengan semaraknya , lestari menuruti situasi masa , dibawah pimpinan Kepala/Pemuka – muka Desa yang namanya kami abadikan dibawah ini, sejak jaman Dinasti Warmadewa, Mojopahit, Penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang dan Jaman Kemerdekaan sampai sekarang.
Bagikan artikel ini:Kirim Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui Admin